Selasa, 10 juli ‘07
TENTANG Q-TA
Waktu Kita Berantem…
What ju’ look at me!
Reap what you show!
Sebelum Tanggal 12 Juni ‘07
The day i know i loved you
Dan Ketika Tanggal 12 Juli ‘07
I accept your adoration from the bottom of mf hearth
Dari hari yang bersejarah ini nek ucapin…
Honey, accept me for what it’s worth
I don’t wanna let you down
I’m going to miss you when youre gone
What ever will be will be
Let’s gone be by gone
Di Hari Bahagia Ini Terlintaskah Di Hati A’ Tuk Berkata
I must be faith ful to the last
And
My hearth will go on
Dan Benarkah…
I’m in love at first sight
You’re the only girl who comes early in my hearth
I feel if i’m not to live anymore without you
You are all that i need
Tapi, Kalau Yang Ini Ga Usah Becanda…
You’re the most beautiful girl in creation i dream
Saat Jarak Memisahkan Kita…
I don’t have any hearth to say good bye
Dan Yang Nenk Selalu Rasain
I gonna miss you wherever you live
_Poetry Green_
“ku tuliskan kisah ini untuk mengenangmu.
Jangan tanyakan kenapa.
Lihat saja nadi peradaban yang semaput!
Aku tak mau kisah kita akan terkubur didalamnya.”
_i gonna miss you wherever to youre_
![]() |
Ajah yang teduh, tatapannya yang lembut, senyum yang bias cerah. Aku mengenagnya dalam lagu dan syair jiwaku sejak pertama bertemu. Siapa gerangan? Senyumnya menggodaku hinga terngiang kejauh malam, membuatku melayang hingga dipancar bumi hijau terkapar di langit logika. Kerudungnya yang panjang, memanyungi alam hatiku hingga setenang telaga. Tapi tetap usahaku belum jua tercapai, meski dengan rayu dan logika. Hari itu. . .
* * *
“ O, jadi ini yang namanya Putri? ” sapaku dengan tersipu malu sesekali mengangukan kepala.
“ Kenapa, kamu toh yang yang namanya Haki? “ dengan cuek jawab wanita itu, sembari mendengus.
Hari tiu menjadi kali pertamanya aku bisa bertatapan mata juga bercakap dengan putri yang ku impikan selama ini, pertemuan yang tak direncanakan kala itu didepan pintu kelas ku setelahnya suara bel selesai bernyanyi. Hari itu menjadikan titik awal serpihan angin cinta dalam story cinta ku. Ia pun perlahan meningalkan diri ini dengan meninggalkan seutas senyum manis di bibir tipisnya.
“ Amboi elok nian manisnya senyuman itu..”
Mata yang terus terpancarkan dalam legok jalannya, tertuju dalam lorong-lorong kelas di ujung sana. Terpancar hatiku senyum yang bias cerah dalam wajah ku. Aduhai, cantik nan elok bunga itu. Kemudian bergegas masuk tuk siap menadahi wejangan para pahlawan tanpa tanda jasaku. Detik – demi detik menit bermenit jam demi jam, tak kunjung datang seseorang yang ingin mengajar di kelas ku, sementara kegaduhan dalam kelas tak dapat lagi dibendung. Mereka sibuk dengan keegoisan diri, ada yang makan di ruangan kelas, bernyanyi , ngobrol juga tabuhan meja yang tak lagi beraturan dalam mengiringi music dari hand phonnya kala itu ingin rasanya menjerit kencang !!!
“ Haaaaaaaaaaaaa………”
“ Brisik tahu ga sih! Kasihan teman –teman di sebelah yang lagi belajar! ” emosiku tak dapat lagi dibendung dengan suasana itu. Aku yang jadi kepala di kelasku 10-3, wajah yang terus memerah dengan seribu kekesalan memilih meninggalkan kelas dan mencari kedamaian setelahnya ku maki mereka yang menyaklakan api kegaduhan dalam kelas. Namun batahan kaki membawaku ke kantor sekolah untuk menanyakan guru yang mengajar di kelas ku.
* * *
“ tok-to-tok..., Assalamu’alaikum...”
“ Wa’alaikum salam, yah, ada apa haki “ jawab pak ali yang menjadi pegawai
Tu di sekolah ku.
“ pak, ngomong-ngomong pak mi’raj masuk ga yah, soalnya dari tadi belum masuk-masuk di kelas ku “ aku yang sambil mengeluh dengan keadaan kelas samanya.
“ O ia, pak mi’rajnya lagi ada acara diluar, tadi saya lupa ngasih tahu sama kamu Hak"
“ ada tugas ga pak?”
“ ga ada kayaknya deh, soaalnya dia dari pagi ga kelihatan hidungnya” ungkapnya sembari jari-jarinya menari diatas keyped komputer.
“ ok deh pak, makasih yah”
Aku yang terus di hantui dengan kekesalan begegas meninggalkan kantor dan kembali ke “kandang bebek” yang amat sangat brisik. Didepan pintu sana segerombolan anak-anak menunggu kedatangan atas kabar dari hasil menghadapku di kantor.
“ Ada ga pak mi’rajnya a’?” Seru dian yang kerap memanggilku sebutan a’ sembari menenteng tasnya seraya siap bertempur ke tempat dilahirkanya. Aku yang terus kesal hanya sebuah senyum lemas jawabnya.
“ Ada gak A’ ?” Ulang dian yang tetrkenal super cerewet sesampainya di kelas. Lalu aku pun mengambil langkah dengan idiologi ku guna mereka tidak lagi membuat kegaduhan, serentak sesaat aku masuk kelas semuanya hening bak kuburan. Nampaknya semuanya sadar akan kedewasaan, dan aku pun langsung menyuru mereka untuk mengerjakan lks yang belum di isi, ini semua ini siatif ku, agar mereka tek lagi berkoar. Detik demi detik, menit bermenit, jam ber jam nampaknya mereka usahaku berhasil utuk mendiamkan mereka. Muka – muka serius nampak terbias dari wajah mereka. Tiba- tiba...
* * *
“bel” __
Pukul 13.00 tepatnya hari sabtu, tepat matahari moncong sedikit di atas embun-embun ku sementara metaku kian menciut dengan kaca mata yang menempelnya menahan terik mentari, lalu.
“ Woy! ” sembari menepuk kencang pundak ku seraya mengagetkanku.
“ Astaghfirullah..” Latahan ku dengan jantung yang berdebar kencang.
“ Tia-tia, kalau ingin membunuh ku jangan tanggung-tanggung sekalian pakai Golok" ungkapku sembari mengkramasi kepalanya.
“ A’ kumpulan yuk, soalnya bentar lagi pengen ada pelantikan “ tia teman kelasku sekaligus teman keluhan kalbu, hari itu mengajak ku untuk lagi aktif di gerakan alam, dia yang juga teman Putri dulu semasa dipenjara suci. Yang berusaha mempersatukan dan menjomblangi aku dengannya, mengerahkan pedulinya terhadap ku, agar nafas yang sempat tersendat dapat lancar kembali. Ya itu lah temanku yang berusaha keras agar teman yang di sayanginya dapat berjuang dan bahagia bersama angan dan citanya. Ia pun tanpa pikir panjang langsung menyeretku ke deretan pagar hidup bersama pasukan alam. Serentak merekapun memandangi ku seolah-olah penjahat yang menyelinap dengan pakaian rapihnya. Aku yang tak lagi bergairah menatap gerakan itu di tambah dengan kekesalanku tadi bersama anak-anak kelas, membuat ku ingin lari dari komlotan itu. Laki-laki berbadan tegap dengan atribut yang mewarnai bajunya dengan tajam poros matanya memandangku dan ternyata ia adalah nahkonda di kapal gerakan alam.
* * *
“ Hai, lihat ada kawan baru tuh “ sindir pradana sembari menunjuk tangannya lurus di hidung ku. Aku yang kala itu tidak pernah terlihat batang hidungnya, detik itu sekitar setelahnya 4 bulan tidak aktif tiba-tiba muncul di hadapan mereka. Terlihat wajah-wajah baru dalam gerakan, juga aku yang berbeda warna dalam barisan membuat ciutnya puser ini. Mata pradana yang tak lagi berketip melihat kegersangan dalam diri ku, ia pun menghampiri dan menembaki ku dengan peuru pertanyaan yang senga. Lontaran kertas yang buntelan kerap melayang di pipiku, ocehan, cercaan dan makian bertubi-tubi menghujani ku.
“ Anjrit! Nyesel datang kesini ! ” luapan dalam hatiku yang terus tertahan dan berusaha di pendamkan. Lagi-lagi poros mata yang tajam bak mujaher terus memandang tejam. Pertanyaan juga sindiran bertubi-tubi mencecar ku.
“ Haki,kenapa tidak memakai baju pramuka ? “ tanya dia sembari menekan nadanya.
“ Maaf ka, tadi buru-buru jadi lupa makai, padahal sudah di siapin juga di
rencanakan akan memakai nya . “ alasan ku dengan majah melasnya.
“ Alasan saja kamu, bilang saja malas.! “
Aku yang terus disudutkan membuatku tambah jenuh akan ocehan itu. Menahan amarah dalam kepalan tangan, bak genderang siap untuk meluncurkan peluruhnya. Gencatan rudal buku terus mengenai wajah yang kian memerah.
Sebuah seragam coklat ketanahan membuat ku terkapar dalam sengatan bara yang kian menyala-nyala, dibentak di depan umat, wajah yang terus tegang dengan kekesalan yang terus naik, namun sadarku akan kesalaha sesekali menyerpih dalam angin nafas semangatku. ‘Yah, itu semata karena kesalahan ku’ menungku yang sesekali mendengus meresapi salah ku. Dan semuanya seketika pudar sesaat setelah suara yang sayup lembut juga akrab di telingaku membuka mulut indahnya dan membantuku dalam terkaman jendral berpangkatkan dua tunas kelapa juga sebutir bintang yang mengihiasi punggungnya.
“ Maaf ka’ mungkin ia ada sebab lain yang menjadikannya belakangan ini tidak aktif, alangkah baiknya kaka tanyakan dulu dengan baik-baik jangan lantas malah memakinya, juga apapu itu jawabnya kita berusaha memahaminya.” Saran yang kala itu nadiku mulai berdetak lagi.
“ O tuhan, wanita itu.” Ternganga menatapnya. Setelahnya kutengok ternyata putri yang selama ini berenang-renang dalam kalbuku, melontarkan dengan pribadi luhurnya membuat nafas ku sedikit lega. Namun dengan sikap keras seorang pradana malah menjadikan itu sebagai santapan ocehanya.
“ Dasar laki-laki letoy! Bisanya mengandalkan bantuan dari wanita!” Tangan lemesnya yang terus menggampar ku dengan gulungan copyan surat-surat gerakan. Aku yang tak lagi berkata-kata, seribu alasan tak lagi diperdengarkan, kini hanya sebuah kepasrahan dalam menjalani hukuman atas hilaf diri. Introsfeksi yang menjadikan sebuah jalan terahir ku. Kemudian perlahan nada pradana mulai di kendorkan sembari melihat-lihat jam tangannya, lalu diwaktu suasana redup nan adem bak telaga di timur nusantara sana, juru adat dalam gerakan menyeru agar mempersiapkan persyaratan yang di prioritaskan maksimal 25. Plantikan yang tinggal sehasta lagi kini berjuangan dalam menyelesaikan syarat khususnya dalam jangka 2 jam. Mendengus kencang. Hari itu yang tak lagi kondusif dalam keluhan pasukan lain pun terasa sama, “mampus!” Grutuan dalam jiwaku sembari memukul jidat. Serasa setres dengan tak satupun syarat yang ku isi.
Syarat kecakapan umum (sku), yang sangat diprioritaskan dalam mendapatkan topi kebanggaan baret juga atribut sangga. Masih bening, tidak ada noda satupun yang menempel di lembaran sampul kuning bergambaran tunas kelapa itu, seakan-akan nasib dalam gerakan ku tertuangkan didalamnya. Buku yang mencerminkan jiwa tulus dalam seragam coklat ketanah-tanahan itu, detik itu harus diisi. Aku yang tidak mudeng dengan segala materi yang ada didalamnya. Memberanikan dengan bekal bismillah mengawali langkah kaki ku. Wajah yang kusut penuh kegelisahan, nafas yang tak lagi beraturan berusaha ku copot dalam topeng di diriku. . Namun sore itu disaat semuanya di bintal dengan ketegasan pasukan alam, klopak mataku diam dan tersorot pada teras mushola. Terlihat putri impian ku dengan wajah kusamnya sedang meluruskan kakinya sembari jemari lentiknya memujay betis indahnya yang terselimuti bengan rok panjangnya.asaku yang terus menatap ruang dirinya menjawab langkahan kaki ini untuk menghampirinya. Putri yang terlihat letih sesaat setelah berjuang tanpa ada pengawal yang mendampinginya.
“ Hai Put,?” Sapa ku lagaknya serasa kaya kumbang dan taman. Putri yang keletihan dengan wajah murungnya hanya menjawab sapa ku dengan senyum layu.
“Kenapa? Kelihatanya capek banget yah ?” Sembari menghiburnya.
Namun Putri yang malas berkata-kat ia pun memilih menolahkan wajahnya. Aku yang gagal dalam mencari point terindah dalam hatinya. Aku yang terus gigih dalam juang ku untuk pulihkan senyum semangatnya belum jua berhasil, sementara sang surya bersiap untuk tidur tepat diarah dimana aku sholat ashar yang tak lagi disiplin dengan warna telor kuning setengah matang.tak lama suara morse dalam gerakan naluri ku bergegas dalam alunan itu. Terlihat dari pasukan alam wajah yang tak lagi bias cerah setelahnya berjuang. Para senior pun mulai menurunkan nada suaranya. Suara tegasnya menyeru untuk bersiap dalam pertempuran selanjutnya. Hari itu ditutup dengan sebuah kegembiraan , karena teman satu perjuangan ku berulang tahun. Sebuah tradisi dalam ikatan menjadikan ia pun dimandikan ramuan bunga. Ketegangan, capek, takut, kebersamaan dengan ditutup sebuah keceriaan itulah lajur di gerakan ku kala itu.
* * *
“Hari berganti, terbawa angin menyambut pagi, detak jam silih berganti, bersiap tuk rajut hari. dengan yakin yang kujaga, meski jauh dan lama, dengan harapan dan cita, agar kelak dapat bahagia.”
Mungkin kata-kata itu yang pantas ku utarakan dalam bersiap tuk melaju perjuangan sangga dan baret. Meski bekal pengetahuan yang tak lagi bannyak, namun dengan pengetahuan dan dengan semangat yang menggebu-gebu dalam sanubari juga sebuah keyakinan siap tuk tebalkan tameng dalam menahan gencatan para jendral gerakan alam. Untaian restu dari bapa dan ibu juga orang tua asuh di pondok menambah mulusnya niatan ku dalam berjuang.
Dan sesampainya disana, tepatnya desa panongan. Tempat dimana pasukan alam menjalani karantina dalam gemblengannya. Keadaan yang menyatu dengan alam, poros mata yang kian terpancar tajam menatapi hutan yang tak lagi rapih, lapangan bola dengan rumput panjangnya. Suasana yang mencekam membuat kita waspada dan berhati-hati akan itu. Hari itu disaat pasukan alam berjuang dalam medan yang asri namun mencekam. Lagi- lagi poros mataku memandangi wajah anggun putri itu, samapi-sampai ocehan dan tamparan pun terus menghujani wajah ku.
“ Haki! ” triak senior itu sembari menggampar ku.
Aku yang tak banyak bekal materi, hari itu menjadi sebuah santap tangan dan cercaan dari jendral-jendral pasukan alam. Push up, lari-lari, berendam, juga tamparan hal itu menjadi makanan kami pasukan alam. Sebuah pendidikan yang militant adalah konsep plantikan di gerakan ku. Hati kecil yang terus dongkol ingin rasanya pergi meninggalkan itu, muka yang pudam merah akibat tamparan, hal itulah yang menjadikan darah ku naik, namun seribu emosiku terus di pendam tak bisa rasanya untuk meluapkannya.
Namun angan ku selalu membaluti sikap juang ku. Meski topan menerjang ku, meski dingin yang menusuk di tulangku, meski mentari memanggang kulit ku, namun inilah aku semangat yang tak pernah mati, demi tergapai cita dan cinta di kemudian hari. Ungkapan itulah yang menjadikan ku terus berdiri tegak dalam karantina itu.
Sore itu, pukul 17.00. Di saat peluit panjang selesai di bunyikan, pasukan alam di beri waktu untuk isirahat dan mempersiapkan shalat maghrib sekaligus isya di mushala depan perkemahan. Wajah yang tak lagi bersih begitu juga baju yang di penuhi noda-noda tanah setelahnya acara baris – berbaris (PBB),kami pun lega ahirnya tiba waktunya untuk ngasoh dan bebersih. Namun tiba-tiba suara gemuruh dalam perut menglegar di telinga ku, dan kebetulan terlihat grobakan bakso yang sedang ngetem bersama kumpulan pedagang lain di perkemahan. Terlihat anggota dan senior yang sedang mengantri di depan grobak bakso. Aku pun tergerak kesana mengingat orasi dalam perutku semakin kencang. Tiba-tiba disaat aku sedang memesan bakso bersama teman ku sembari duduk – duduk di kursi pohon tumbang pancaran mata ku seketika menatap dua orang perempuan menenteng pakaian di tangannya dengan wajah kusutnya, dan ternyata mereka adalah tia dan zihan. Perlahan langkah kaki mereka mendekati ku, aku yang malu pura-pura tidak melihat dan cuek kepada mereka. Tiba-tiba..
* * *
“ Haki,ini jeh si Putri mau minta di traktir makan bakso sama kamu” ungkap tia dengan khas bicaraya yang tak lepas dari bahasa daerahnya, sembari merayu ku. Lalu pikir ku mengingatkan bawaan ku di dalam tas dengan menganggukan kepala ak pun langsung lari menju tenda dan mengambil sesuatu dari bawaan ku, sembari menyuruh mereka untuk menunggu. Sebuah mie goreng yang ku bawa langsung ku berikan ke abang tukang bakso itu dan menyuruhnya dikasih bakso bersama mie itu. Namun entah kenapa wajah mereka nampaknya tersenyum dengan seribu tanya dalam hati ku. Serasa tidak suka ku bawakan mie dari bekal ku. Dengan lahap setelahnya mie selesai di bikinya kita memakanya. Amboi, sanubari ku berbunga – bunga dengan sejuta mimpi dalam inginku. Ternyata putri yang ku impikan bisa duduk bareng dengan sedikit pertolongan untuknya. Setelahnya selesai memenuhi tuntutan para orasi dengan ditemani putrid impian, lalu bergegas menuju suur untuk membasuh luuran tanah yang menempel dalam baju perjuangan ku. Dan bersiap untuk shalat maghrib berjama’ah di mushala.
Sesampainya shalat maghrib selesai, aku pun mundur dari shaf dan menyender di tiang tengah mushola, tak sadar kuping ini merasakan ikatan suara yang terngiang di dalamnya, lantunan al-qur’an yang begitu indah, membuat sekujur tubuh ku teduh bak mandi di telaga bersama dewi kayangan di sertai tabur bunga serta kicauan burung nan merdu bersamanya. Girah ku perlahan mendekati suara nan merdu itu. Ternyata putri itu sumber dari suara itu. Kutatapi mata dan gerak bibirnya seraya tak lepas, aduhai sungguh sempurna putri itu. Semaki ku angkat duduk ku dan semakin ku dekati putri itu, tiba-tiba suara yang indah lagi merdu semakin meredup hingga ahirnya menutup mushaf. Ternyata sang putri merasa terganggu dengan keberadaan ku. Terkejut sang putri melihat ku karena tiba-tiba da disampingnya. Terpancar dari wajahnya yang tersipu lantas meninggalkan dari persemayaman sesaatnya. Ia yang terus malu karena tanpa sengaja duduk di shaf adam.
Sementara waktu terus berjalan, setelahnya sholat isya kami pun kembali ke perkemahan untuk meneruskan acara selanjutnya. Rintikan hujan menambah suasana hening dan mencekam, kumpulan bintang-bintang nan indah tak lagi terlihat kala itu hanya paduan suara jangkrik dan katak lah yang terdengar. Rasa dingin yang terus menusuk ke rongga-rongga tulang mebuat ku merasa mual dalam perut, nampaknya angin masuk dalam tubuhku. Namun dengan semangat yang terus membaluti perjuangan ku aku coba untuk tetap bertahan. Karena menyerah bukan tabiat ku.
Malam yang terus larut sementara rintik hujan terus berjatuhan di perkemahan, gentrakan kaki, juga ayunan tangan dalam PBB tak lagi sempurna, kaki-kaki yang dipenuhi dengan air dan lumpur membuat kami terus lelah dalam baris berbaris, sementara senior terus memainkan sandiwaranya dalam menegaskan dengan bentakan-bentakan seolah seolah itu meyakinkan kita. Cercaan, tamparan, juga hukuman-hukuman lainya terus di gencatkan kepada kita, hingga ahirnya hujan bertambah membesar, yang menjadikan acara di perhentikan sesaat dan menyuruhnya agar pasukan alam untuk istirahat. Tenda-tenda yang kuyup juga banjir membuat para peserta di pindahkan tidurnya di rumah penduduk bagi kaum hawa, sedangkan laki-laki di mushola. Dingin yang terus menusuk kencang membuatku tidak bisa memejamkan mata hingga tubuh pun menggigil kencang. Sekilas wajah si putri mengiang-ngiang dalam fikir ku, senyumnya terus menari-nari di kalbu ku. Ah.. Susah rasanya lepas dari sihiran cinta itu…
Pukul 01.00, suara triakan di perkemahan mengaung kencang memanggil para kader pramuka, dengan hitungan yang tak berhenti. Gedoran pintu hingga membuat jantung ku berdebar kencang, menyeru kepada kami untuk bangun dan mejanjutkan acara selanjutnya.
“ Woy! Bangun-bangun” triak kaka-kaka pramuka sembari menarik kakiku.
Aku yang hanya sekejap mata karena malam yang terus membuatku terpikirka putri itu, kian berat mata ku sementara deretan acara masih panjang. Jurit malam yang akan di laksanakan kala itu, dengan mata yang kian berat, namu kucoba untuk membukanya. Nama ku yang di panggil paling wahid mengawali pemberangkatan. Mata yang terus gentayangan kesana kemari bak hansip sedang patroli kampung, dengan bekal lilin kecil. Aku mencari lilin-lilin yang menyala yang juga di arahkan para senior sebagai rute perjalanan ku. Ditengah suasana mencekam, mata yang tak bisa diam tiba-tiba terlihat dari kejauhan para senior sedang asyik ngobrol-ngobrol bersama kawan jaganya. Nampaknya mereka belum tahu dengan kedatangan ku, sehingga misinya dalam menakut-nakuti para peserta gagal dikala perjalanan ku. Ahirnya aku sampai dengan sebuah perjalanan asah mental kurang mengesankan.
Acara pun terus berjalan, sebuah gemblengan dalam keorganisasian terus lontarkan, gigihnya perjuangan di laga pertempuran menjadikan suatu pelajaran tersendiri mengenai arti sebuah organisasi. Organisasi yang mengajarkan ku tentang sebuah pengertian dan kesemangatan, serta pembentukan karakter, hingga tak terhitungkan harganya. Tiba saatnya di ahir acara yakni penyematan baret dan sangga. Dalam sangga ku, aku masuk di pendobrak, dan putri itu di perintis. Nafas sisa-sisa perjuangan seraya ku hembuskan kencang setelahnya selesai acara plantikan. Namun ke bahagiaan ku belum sepenuhnya lega, karena masih ada satu perjuangan lagi dalam menjadi pramuka sejati. Yakni, palantikan bantara.
Acara pun ahirnya selesai dan diizinkanya utuk pulang. Wajah yang terus ceria, sesaat setelahnya di lantik, kami pun ahirnya pulang dengan membawa tanggung jawab yang lebih besar lagi di dalam gerakan.
Esok harinya, sabtu 31 maret 2007, ketika semuanya kembali beraktifitas seperti biasanya seorang pelajar, namun bagi kami pasukan alam yang baru memperjuangkan sebuah pangkat baru dalam gerakan menjadikan semua itu terasa memiliki kesenangan tersendiri, meski ke belakang perjuangan dan tugas siap menanti. Juga dalam sanubari ku selaksa kupu-kupu yang sedang asyik panin madu di pagi hari, karena benih cinta ku kian tumbuh setelah adanya plantikan itu.
“ Putri, iya,, wanita itu…” suara hati ku seraya memikirkan serta sesekali menganggukan kepala. Wanita itulah yang memberikan nafas hidup ku di pramuka. Wanita yang selalu menari-nari dalam pikiran ku. Hingga menjadikan ku berdiri tegak bersama pasukan alam. Bukan hanya sepenggal perasaan. Tapi, benar-benar keyakinan. Membatu, mengeras dan memadat. Ya, kira-kira seperti itu. Hingga khalwatku di dada begitu kukuh, bagaikan batu pualam yang tak berkeming dibelah. Sempat pula ku ukur-ukur, sekuat apa kukuh dan teguhnya dalam memikat hatinya. Hati yang terus resah, dan gulana. Detak jantung semakin membesar, bak gemuruh alam yang menggema. Menung ku dalam angan ku terus memikirkannya.dan terus bertanya – tanya, apakah ini yang di namakan cinta ? Semakin lama ku pikirkan semakin membesar rasa dalam kalbu ku. Hingga ahirnya ku putuskan malam itu.
6 juni 2007 pukul 22.00. Aku yang tidak memegang hand phond tergerak untuk meminjam kepada kaka kelas ku di pondok, dengan mengisikan pulsa untuknya. Bergegas aku mengabarinya lewa via sms.
* * *
“ Ass,,, Put, lagi ngapain? Basa-basi ku.
“ Wkslm,, lg santai2 za, haki c lg ngpain? Balasnya dengan gaya bahasa smsnya yang di singkat-singkat membuat ku sedikit bingung. Aku yang terus menghiburnya agar ia tidak bosen membalas sms ku. Hingga ahirnya aku menyuruh Putri untuk menunggu jam 22.00.
“ Put,nanti jam 22.00 jangan tidur dlu yah, soalnya aku mau ngomong penting sama kamu, bisakan?
“ Hahaha… ya dah Put tunggu yah, tapi hars tepat waktu. Ok.” Pintanya.
“Hem…” mendengus sejenak setelah ku sudahi smsan ku bersamanya. Rangkaian kata yang terus ku pikirkan, sementara jemari tanganku sudah mulai tiris dan berkringat juga gemetar. Entah apa yang harus ku lakukukan? Sementara ini kali pertamaya jatuh cinta. Gugup dan gemetar aku menunggu 2 jam untuk mengikrarkan rasa cinta ku. Ah,aku kehabisan kata-kata dalam mengurai dirinya. Dan tiba saatnya masa untuk melepaskan status jomblo ku. Bismillahi rahmani rahim…
Aku menelphond dia tepat pukul 22.00, namun kegelisahan ku semakin memuncak setelah ku hubungi tidak di angkat. Kocoba kedua kalinya. Ring back toon yang bernuansa cinta membuat telingaku pun asyik mendengarnya. Dan diangkatnya panggilan ku.
“ Assalamu’alaikum…” ungkap ku dengan gugup dan malu mengatakanya.
“ Wa’alaikum salam ”
Mukodimah obrolanku dengan sebuah candaan membuat sedikit tenang dalam gerak ku. Hingga ku beranikan diri untuk menuangkan air cinta di hatinya, meski takut yag terus membaluti pikir ku, namun ku coba beranikan itu semua. Hingga statement dari bibirnya keluar menyapa ikrar ku.
“ Maaf haki, Putri belum bisa jawab sekarang, insya allah dalam 1 minggu putri kasih jawabanya.”
Sepintas ku terdiam memikirkan hal itu, setelahnya ikrar kutuangkan. Sebuah jawaban yang kudapat adalah menungu. Cemara yang tak bergeming dirayu angin. Duh, kau, angin, hembuskan kiranya hati yang gelisah ini, aku ingin cahaya turun di hati, bak aroma kasturi yang melekat di jantung nabi. Aku ingin ketenagan tuk obati keresahan hati. Dimanakah letak ketenagan itu, wahai sang pencipta ketenangan. Berikan kepada ku sepercik cahaya ketengan mu.
“ah, makin semrawut saja keadaan ini” aku yang terus di kejar rasa takut dan malu selama penantianku, sampai-sampai menatap wajahnya pun aku tak sanggup. Benakku selalu memikirkn akan hal itu, “ kenapa diri malang ini terjerumus di jurang hati? Yah, kalo memang itu cinta, kenapa harus seperti ini? Aku yang terus tiada henti merenungi dalam penantian. “ wahai yang membolak-balikan hati, luruskanlah inginku, wahai yang membuat risalah hidup, kirimkanlah risalah ini untuknya. Juga engkau yang memberi ketenangan, bawalah hati ini di telaga kautsarmu.”
Selasa, 12 juni 2007. Aku bergegas menuju sekolah, sejenak perasaan menggigit batinku dengan kekhawatiran yang terus membalut kencang. Aku terus berjalan. Di kiri kanan-kananku hanyalah sebuah angan besar bersamanya. Cemas, gundah, gugup kian menghantui hati kosong ini. Langkahan kaki yang tak lagi pelan bak menuju kamar mandi. Suara bel yang terdengar dari jauh kaki ku melangkah, kian berlari mengejar agar tidak di tutup gerbang madrasah itu. Belajar yang tak jernih, dengan rasa dan pikir yang mengotori air hati ku. Gelisah dan gelisah yah, itu gambaran ku saat menuggu yang kian dalam hitungan jari. Oh, tuhan… aku nyaris kehabisan ungkapan menggambarkan kemelutnya hati ini. Tiba-tiba isi kantongku bergetar, hp yang sengaja aku pinjam semalam milik teman ku dengan mengganti kartunya. Ku buka kotak masuk ternyata Putri itu mengirim pesan kepada ku.
“ Pulang sekolah kita ketemuan di kelas mu”
“Oh tuhan”, apa yang harus hamba siapkan, sementara hati yang terus ciut untuk mendengar jawabanya” genderang hati yang kian semakin kencang, suhu jemari yang terus naik. Ah, aku sampai kehabisan akal dalam merangkai kisah itu.
Dan kini tiba saat yang paling menegangkan di banding dengan terjun payung. Setelahnya bel dibunnyikan, di saat bangku-bangku yang tak lagi beraturan, suasana kelas yang kian di tinggal penghuninya, aku duduk dengan hati yang terus gelisah yang tak kuat menatap biru langit atas sana. Berharap agar datang dewi portuna menghampiriku. Agar apa yang jadi ingin ku bisa tersampaikan. Dan kini kepasrahanlah yang menjadi jalan buntu buat ku. Lalu, disaat aku yang tak lagi menatap lurus tiba-tiba dia muncul dahadapanku. Oh, angin ketenangan, sejukilah kalbu ini dengan serpihan mu. Rembulan yang terpancar cerah terangilah hati ini. Walau mata tertutup tetap hanya dia yang ku lihat. Oh, telaga nan adem, tenagilah diri bimbang ini dalam bersikap. Hingga ahirnya tanpa basa-basi aku langsung menagih janjinya. Namun hanya senyum manis dibibir tipisnya yang terpancar menyimpan sejuta isyarat yang tidak bisa aku tafsirkan. Sepenggal surat berwarna pink yang disodorkan dari tangannya. Penantian dalam ikrarku terbalaskan didalam lembar risalah itu.
“ Dengan nama-nya yang maha rahim, yang dari bias nama-nya itu kita dipertalikan oleh rasa sayang dan kasih-mengasihi hingga kita pun sebagai insan yang lemah memaksakan diri menyebutnya sebagai ‘cinta’. Dan dengan nama-nya pula lewat lembaran ini aku putuskan untuk berta’aruf denganmu.
_poerty green_
Amboi, indah nan elok romantiaka itu… ia pun sembari meberikan sabuk gerakan bergambarkan pohon yang serba guna dari akar hingga serat-seratnya. Seakan terikatnya hubungan ku dengan sabuk perjuangan dalam gerakan itu.
Aku yang belum sadar akan hal itu, menjadikan ku menanyakan hingga tiga kali. Dan tetap jawabanya hanya dengan gerak tubuhnya dengan terus mengangguk- anggukan kepalanya. Ya, ahirnya setelah ku nantikan dengan keluh dan kemelut di dada, semuanya terbayar degan senyum indah menatap cinta di matanya. Kata-kata putri green yang tertera pada sudut ahir risalah itu membuatku selalu bertanya-tanya akan nama itu. Menungku terus memikirkanya. Hingga ku beranikan untuk mempertanyakanya. Lagi-lagi lontaran senyuman yang menjawabnya. Matanya yang kian tersipu malu memuat percikan cahaya semakin terpancar kuat. Ternyata ia pun menjawab soalku.
“ Aku, soalnya sangat naksir dengan warna itu.” Ungkapnya dengan wajah yang terus mengela di mata ku, bak rumput putri malu yang tersentuh halus.
Ya, Putri yang sudah mengorbankan hatinya untukku terlebih ia beranikan dalam penantianku selama 1 minggu ternyata ia berusaha memutuskan pacar sebelunya. O, haki. Begitu istimewanya aku di hatinya. Ya, kira-kira itu yang terbayangkan dalam sanubari masa itu. Hingga ahirnya perjalanan cinta kita di tuangkan ke mushaf hijau berisikan cerita hati berdua. Alur cinta kita selalu berubah-ubah. Kadang hari ini bahagia bersama tawa dalam lelucon kami. Kadang juga kecemburuan hingga berkepanjangan. Sungguh aku rindu dengan catatan cinta ku. Sebulan t’lah kulangkahkan ta’aruf bersamanya, hari-hari yang terus di lekati keromantisan juga kasih sayang yang menaburi lankahan kaki kami. Hari itu, sesaat diwaktu sedang duduk termenung menunggu dikumpulkanya para pasukan alam, tiba-tiba ia menarik tasku dan menaruhnya selembar kertas dalam tasku.
“ Warna hijau itu bagus ya, ya ia lah… i love you ” tulisan yang nyentrik serta wana yang kian hijau jua, aku pun tersenyum-senyum melihat serta merasakan itu. Dua hati yang di satukan sama-sama menyukai warna hijau, sehingga kami menyebutnya pangeran green dan putri green dalam kisah cintannya. Putri yang mengajariku arti cinta dan mencintai, cinta yang membawa dua hati terkapar ke langit logika. Juga cinta yang menyatukan antara ego dan nafsu. Yah itu yang ku rasakan dalam story cinta ku yang ku bingkai lewat karya ini. Dan dengan ego pulalah cinta kami mejadi kandas dengan luka dan penyesalan yang terus membeku dalam hati. Dan semuanya berubah tidak ada lagi kata-kata a’ dan nenk’ di bibir kita. Kini dia bahagia dengan yang lain, sementara aku masih mengarungi samudra tuk cari itu cinta. Cerita cinta yang hanya sekejap mata namun elok di kenang. Kini namamu ku gantungkan dalam bingkai hati ku, sebagai peninggalan sejarah cinta yang pernah ku rajut.
*** Satu tahun kemudian.
Kini aku berjalan menikmati kesendirian. Menyusuri nadi-nadi jaman, mengitari kisi-kisi dermaga tempat dimana kelak aku akan menambatkan perahuku yang nyaris karam. Aku mungkin menikmati kesendirian hannya untuk membukukan jumlah bulan dan gemintang sahabat setia di tiap-tiap malamku. Aku tak tahu!
Berpuluh,berratus fajar terbit. Senja berbagai kali rebah, hingga di suatu ketika tiba-tiba aku rindu pada suaranya yang sering memanggilku dalam mimpi. Suara yang selalu membuat jantung logikaku melankolis ketika berpacu membuatku pecah terluka. Dan kini poros kenangan ku terhempas bersama karang-karang di ujung padang timur sana. Kini tak ada lagi sosok putri di hadapanku. Juga tak ada lagi yang sepertinya. Senyumnya, tatapan matanya, suara nan merduanya juaga ketulusanya tidak ku dapatkan wanita selainnya. Ah, sial! Kalau saja waktu itu ku tidak ceroboh menuruti nafsu idialis ku, niscaya peradaban cintaku terus tergoreskan hingga masa ini. Dengusanku dengan berkeming penyesalan. Aku rindu akan masa itu, hingga kini syair pemujamu dalam lagu tak lagi terdengar di telinga ku. O tuhan, kemana aku harus mencari cinta, kemanakah aku harus risalahkan hati ini. ‘ aku akan selalu merindukanmu dimanapun kamu berada.’ hanya ikrar dalam risalahnya lahyang masih ku kenang. Selamat jalan cinta ku. Restu ku menyertaimu…
_The End_