A.
PROFIL AL-MAWARDI
Abu Al- Hasan bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Basri Al-Syafi’I lahir
dikota Basrah pada tahun 364 H (974
M). setelah mengawali pendidikannya di kota Basrah dan Baghdad selama dua
tahun, ia berkelana diberbagai negeri islam untuk menuntut ilmu. Diantara
guru-guru Al-Mawardi adalah Al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, Muhammad
bin Adi bin Zuhar Al-Manqiri, Ja’far bin Muhammad bin Al-Fadhl Al-Baghdadi, Abu Al-Qasim Al-Qusyairi,
Muhammad bin Al-Ma’ali Al-Azdi, dan Ali Abu Al-Asyfarayini.
Berkat keluasan
ilmunya, salah satu tokoh besar mazhab syafi’i ini dipercaya memangku jabatan Qadhi
(hakim) diberbagai negri secara bergantian. Setelah itu al-Mawardi kembali
kekota Baghdad untuk beberapa waktu kemudian diangkat sebagai hakim agung pada
masa pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah Al-Abbasi.[1]
Sekalipun hidup
dimasa dunia islam terbagi kedalam tiga dinastii yang saling bermusuhan, yaitu
dinasti Abbasiyah di Mesir, dinasti Umayah II di Andalusia dan Dinasti
Abbasiyah di Baghdad, Al-Mawardi memperoleh kedudukan yang tinggi dimata para
penguasa dimasanya bahkan, para penguasa Bani Buwaihi, selaku pemegang
kekuasaan pemerintah Baghdad, menjadikannya sebagai mediator mereka dengan
musuh-musuhnya. Sekalipun telah menjadi hakim, Al-Mawardi tetap aktif mengajar
dan menulis. Al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Al-Khatib al-Baghdadi dan Abu
A-Izza Ahmad bin Kadasy merupakan dua orang dari sekian banyak murid Al-Mawardi.
Sejumlah besar karya ilmiah yang meliputii berbagai bidang kaijian dan bernilai
tinggi telah ditulis oleh Al-Mawardi, sepeti : Tafsir Al-Quran al-Karim,
al-Amtsal wa al-Hikam, al-Hawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad-Din,
Siyasah al-maliki, Nasihat al-Muluk, al-ahkam ash-shulthaniyyah, an-Nukat wa
al-Uyun, dan Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-Maliki. Dengan
mewariskanberbagai karya tulis yang sangat berharga tersebut. Al-mawardi
meninggal pada awal tahun 450 H (1058 M) di kota Baghdad dalam usia 86 tahun.
B.
PEMIKIRAN EKONOMI
Pada dasarnya,
pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah karya
tulisannya, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam
as-Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan
tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian
utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi,
salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah
dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia
banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi agama islam,
seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbaga lembaga Negara,
penerimaan dan pengeluarn Negara, serta Institusi Hibah.[2]
Dari ketiga
karya tulis tersebut, para peneliti ekonomi islam tampaknya sepakat menyatakan
bahwa al-Ahkam As-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komperhensif dalam
mempersentasikan pokok-pokok pemikiran ekonomi al-Mawardi. Dalam kitabnya
tersebut, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus
pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta, sedekah,
ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.
Analisis
komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan
bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang lebih
sistematis dan rumit. Sumbanga utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka
tentang pembenaan pajak tanbahan dan dibolehkannya peminjaman public.[3]
C.
NEGARA dan AKTIFITAS EKONOMI
Teori keuangan
public selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara
dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga
negaranya. Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam.
Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan)
merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan suatu
keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.[4]
Dalam
perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki
peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi
kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama,
yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.[5]
Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-Mawardi memandang
bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja
merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan
agama.
Selanjutnya
al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang
diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,
“ jika hidup dikota menjadi tidak
mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau rusaknya
tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan, jika
tidak memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk memperolehnya”[6]
Al-Mawardi
menegaskan bahwa Negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan
oleh layanan public karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis
layanan semacam itu. Dengan demikian, layanan public merupakan kewajiban social
(fardh kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum.[7]
Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir muslim
sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk mengadakan proyek dalam kerangka
pemenuhan kepentingan umum, Negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau
membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang
memadai.[8]
Lebih jauh ia menyebutkan tugas-tugas Negara dalam pemenuhan kebutuhan dasar
setiap warga Negara sebagai berikut :
a.
Melindungi
agama
b.
Menegakkan
hukum dan stabilitas
c.
Memelihara
batas Negara islam
d.
Menyediakan
iklim ekonomi yang kondusif
e.
Menyediakan
administrasi public, peradilan, dan pelaksanaan hukum islam
f.
Mengumpulkn
pendapat dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikannya dengan menerapkan
pajak baru jika situasi menuntutnya
g.
Membelanjakan
dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibanya.[9]
Seperti yang telah disebutkan, Negara bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga Negara serta merealisasikan kesejahteraan
dan perkembangan ekonomi secara umum. Sebagai konsekuensinya, Negara harus
memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggung
jawabnya tersebut. Berkaitan dengan hal ini, Al-Mawardi menyatakan bahwa
kebutuhan Negara terhadap pendirian kantor lembaga keuangan negara secara
permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah dana Negara dari berbagai
daerah lalu dikirimkan kepusat.[10]
Seperti pada halnya para pemikir Muslim diabad klasik, al-Mawardi
menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan Negara islam terdiri dari Zakat,
Ghanimah, Kharaj, Jizyah, dan Ushr. Terkait dengan pengumpulan harta
zakat, al-Mawardi membedakan antara kekayaan yang tampak dengan kekayaan yang
tidak tampak. Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak, seperti hewan dan
hasil pertanian, harus dilakukan langsung oleh Negara, sedangkan pengumpulan
zakat atas kekayaan yang tidak tampak, seperti perhiasan dan barang dagangan,
diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.[11]
Lebih jauh al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber
pendapatan Negara tersebut apabila tidak mampu memenuhi kebutuhann anggaran
Negara atau terjadi defisit anggaran, Negara memperbolehkan untuk menetapkan
pajak baru atau melakukan pinjaman kepada public. Secara historis, hal ini
pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Untuk membiayai kepentingan perang dan
kebutuhan social lainnya dimasa awal pemerintahan Madinah.[12]
Menurut al-Mawardi, pinjaman public harus dikaitkan dengan
kepentingan public. Nemun demikian, tidak semua kepentingan public dapat
dibiayai dari dana pembiayaan public. Ia berpendapat bahwa ada dua jenis biaya
untuk kepentingan public, yaitu biaya untuk pelaksnaan fungsi-fungsi mandatory
Negara dan biaya untuk kepentingan umum dana kesejahteraan masyarakat. Dana
pinjaman public hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan berbagai barang atau
jasa yang disewa oleh Negara dalam kerangka mandatory functions. Sebagai
gambaran, al-Mawadi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban Negara yang timbul dari
pembayaran berbasis sewa, seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan
senjata. Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah
keuangan Negara mencukupi atau tidak. Apabila dana yang ada tidak mencukupi,
Negara dapat melakukan pinjaman kepada public untuk memenuhi jenis kewajiban
tersebut.[13]
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pinjaman public hanya
memperbolehkan untuk membiayai kewajiban Negara yang bersifat mandatory
functions. Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkatan
kesejahteraan masyarakat, Negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari
dana-dana lain, seperti pajak.[14]
Pernyataan al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman
public dilakukan jika didukung oleh kindisi ekonomi yang ada dan yang akan
datang serta tidak bertujuan konsumtif. Disamping itu, kebijakan pinjaman
public merupakan solusi terahir yang
dilakukan oleh Negara dalam menghadapi defisit anggaran.[15]
D.
PERPAJAKAN
Sebagaimana trend pada masa klasik, masalah perpajakan juga
tidak luput dari perhatian al-Mawardi. Menurutnya, penilaian atas Kharaj harus berfariasi sesuai dengan factor-faktor
yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah,
jenis tanaman dan sisitem irigasi.
Lebih jauh, ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai
factor-faktor penilaian Kharaj. Kesuburan tanah merupakan factor yang sangat
penting dalam melakukan penilaian Kharaj karena sedikit-banyaknya jumlah
produksi bergantung kepadanya. Jenis tanaman juga berpengaruh terhadap
penilaian kharaj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang
berbeda-beda. Begitupula halnya dengan sistem irigasi.
Disamping ketiga factor tersebut, al-Mawardi juga mengungkapkan factor yang lain, yitu
jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Factor terahir ini
juga sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang
tergantung pada jarak tanah dari pasar. Dengan demikian, dalam pandangan
al-Mawardi keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika
para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor dalam
melakukan penilaian suatu objek Kharaj, yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman,
system irigaasi dan jarak tanah ke pasar”.
Tentang metode penetapan Kharaj, al-Mawardi menyarankan untuk
mengguanakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah
islam, yaitu:
a.
Metode
Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah. Metode ini
merupakan Fixed-Tax, terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau
tidak, selama tanah tersebut bisa ditanami.
b.
Metode
penetapan Kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja. Dalam metode ini,
tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek Kharaj.
c.
Metode
Musaqah yaitu metode penetapan Kharaj berdasarkan presentase dari hasil
produksi (proportional tax). Dalam metode ini, pajak dipungut setelah tanaman
mengalami masa panen.
Secara kronologis, metode pertama yang digunakan umat islam dalam
penerapan kharaj adalah metode Misahah. Metode ini diterapkan pertama kali pada
masa khalifah Umar ibn Khatab berdasarkan masukan dari para sahabat yang
melakukan survey. Pada masa ini, pajak ditetapkan tahunan pada tingkat yang
berbeda secara Fixed atas setiap
tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses keair, sekalipun tidak
ditanami sehingga pendapatan yang diterima oleh Negara dari jenis pajak ini pun
bersifat fixed. Melalui penggunaan metode ini, Khalfah Umar ingin
menjamin pendapatan Negara pada setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi,
sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih
hasil produksi rendah.
Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Umar. Pengenaan
pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada bebarapa wilayah tertentu
saja, terutama di Syiria. Metode yang terahir, Muqasamah, pertama kali
diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah, Khususnya pada masa dinasti Al-Mahdi
dan Harun ar-Rasyid.
E.
BAITUL MAL
Seperti yang telah dikemukakan, al-Mawardi menyatakan bahwa untuk
membiayai belanja Negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya,
Negara membutuhkan lembaga keuangan Negara (Baitul Mal) yang didirikan secara
permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan Negara dari berbagai sumber akan
disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya
masing-masing.
Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal, al-Mawardi
menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai
kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut
dari pos yang lain.[16]
Ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan
untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing. Jika terdapat
surplus, guberbur mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat.
Sebaliknya, pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus
harus mengalihkan sebaggian harta Baiitul Mal kepada daerah-daerah yang
mengalami deficit. Kemudian dilihat dari tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi
kebutuhan public. Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal
kedalam dua hal, yaitu :
a.
Tanggung
jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai
amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak.
b.
Tanggung
jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan
baitul Mal itu sendiri.
Berdasarkan ketegori yang dibuat al-Mawardi tersebut, kategori
pertama dari tanggung jawab Baitul Mal yang terkait dari pendapatan Negara yang
berasal dari sedekah. Kerena pendapatan sedekah yang diperuntukan bagi klompok
masyarakat telah ditertentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan
umum, Negara hannya diberi kewenangan untuk mengatur pendaptan itu sesuai apa
yang telah digariskan oleh ajaran islam. Dengan demikian kategori tanggung
jawab yang pertama merupakan pembelanjaan yang bersifat tetap dan minimum.
Kemudian kategori tanggung jawab yang kedua yakni terkait dari
pendapatan Negara yang berasal dari Fai. Menurut al-Mawardi, seluruh
jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan bukan milik
perseorangan secara khusus merupakan bagian dari harta Baitul Mal. Oleh karena
itu, pendapatan fai yang
diperuntukan bagi seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta
Baitul Mal.
Lebih jauh, al-Mawardi mengklasifikasikan kategori yang kedua ini
kedalam dua hal.
Pertama, tanggung jawab
yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima (badal), seperti untuk
pembayaran gaji para tentara dan pembiayaan pengadaan senjata. Pelaksanaan tanggung
jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah,
berapapun besarnya.
Kedua, tanggung jawab
yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum. Al-Mawardi menyatakan bahwa
pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul
Mal. Jika terdapat dana yang cukup dari Baitul Mal, maka pelaksanaan tanggung
jawab tersebut menjadi tanggung jawab social (fardh kifayah) seluruh kaum
muslimin.
Disamping menetapkan tanggung jawab Negara, uraian al-Mawardi
tersebut juga menunjukan bahwa dasar pembelanjaan public dalam Negara islam
adalam Maslahah (kepentingan umum). Hal ini berarti bahwa Negara hanya
mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi
pada pemeliharaan maslahah dan kemajuannya.
Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat, al-Mawardi menyatakan
bahwa kewajiban Negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang
fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari
kemiskinan. Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena
‘pemenuhan kebutuhan’ merupakan istilah yang relative. Untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sebingga terbebas dari 1 Dinar, sementara yang lain mungkin
membutuhkan 100 dinar.
Disamping itu al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus
didistribusikan diwilayah tempat zakat itu diambil. Pengalihan zakat kewilayah
lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik zakat diwilayah
tersebut telah diterimanya secara memadai. Kalau terdapat surplus, maka mereka
yang paling berhak menerimannya adalah yang terdekat wilayah tempat zakat tersebut
diambil.
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta
Baitul Mal agar berjalan lancar dan tepat sasaran, Negara harus memberdayakan Dewan
Hisbah semaksimal mungkin. Dalam hal ini salah satu fungsi Muhtasib
adalah memperhaikan kebutuhan public serta merekomendasikan pengadaan proyek
kesejahteran bagi masyarakat umum. Al-mawardi menegaskan, jika mekanisme
pengadaan air minum kekota mengalami kerusakan, atau dinding sekitarnya bocor,
atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan
air, maka Muhtasib (petugas hisab) harus memperbaiki system air minum,
merekonstruksi dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang
miskin, karena hal ini adalahh kewajiban baitul Mal bukann kewajiban
Masyarakat.
Disamping menguraikan teori tentang pembelanjaan public,,
al-Mawardi ternyata memahami dampak ekonomi pengalihan pendapatan melalui
kebijakan public. Ia menyatakan: “ Setiap penurunan dalam kekayaan public
adalah peningkatan kekayaan Negara dan setiap penurunan dalam kekayaan Negara
adalah peningkatan dalam kekayaan public.”
Dengan demikian, menurut al-Mawardi pembelanjaan public, seperti
halnya perpajakan, merupakan alat efektif untuk mengalihkan sumber-sumber
ekonomi. Pernyataan al-Mawradi tersebut juga mengisyaratkan bahwa pembelanjaan
public akan meningkatkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
F.
KESIMPULAN
Setelah
dipaparkan dengan panjang lebar pada bagian terdahulu, maka dalam kesimpulan
ini menarik untuk melihat apa yang dinyatakan oleh Syed Nawab Haidar Naqvi yang
menyimpulkan dua point penting yang berkenaan dengan keadilan ekonomi, yaitu
Pertama, pandangan Islam terhadap keadilan sosial ekonomi dilandaskan pada
prinsip bahwa semua yang ada di alam semesta ini adalah milik Allah (QS, 3 : 180).
Sebagai khalifatullah fi al-ardh manusia diberi wewenang untuk
mengelolanya dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan seluruh makhluk. Pemilikan
manusia hanyalah bersifat relatif.
Kedua, ajaran
Islam seperti yang termuat dalam al-Qur’an tak henti-hentinya menggalakkan
mekanisme pendistribusian kembali pendapatan yang sifatnya built in,
yang lebih diefektifkan lagi oleh pengaitannya dengan ridha Allah.
Dalam pembuatan
makalah ini penulis banyak mengambil sumber dari buku “Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam” karya Ir. H. Adi
Warman Ashar Karim,SE. M.BA.
DAFTAR PUSTAKA
Audi, Rif’at al-, Min al-Turats: al-Iqtishah li al-Muslimin, Makkah:
Rabithah ‘alam al-islami, 1985
Azmi,Sbahuddin, Islamic Ekonomic: Public Finance in Early
Islamic Thought, New Dehli : GoodWord Books, 2002
Siddiqi, M. Najatullah, History of Islamic Economic Thought, dalam
Ausaf Ahmad dan Kazim Raza Awam, (ed), Lectures on Islamic Economic, Jeddah:
IRTI-IDB,1992
[1] Rifa’at Al-Audi, Min at-Turats :
al-Iqtishad li al-Muslimin (makah: Rabithah ‘Alam al-Islami,1985),
cet.ke-4,hlm.185.
[2] M. Najatullah Siddiqi, Islamic Economic
Thought: foundation, Evolution and Needed Direction, dalam Abdul Hasan M.
Sideq dan Aidit Ghazali (ed), Readings in Islamic Economic Thought (Selangor
Darul Ehsan: Longman Malaysia, 1992), hlm. 18
[3] Sabahuddin
Azmi, Islamic Ekonomic: Public Finance in Early Islamic Thought (New
Dehli: GoodWord Books, 2002), hlm. 34
[4] Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyyah (Bairut:
Dar al-Kutub, 1978), hlm.5.
[5] Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.40.
[6]
Al-Mawardi, Op. Cit., hlm 245.
[7] Ibid.
[8] Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.43.
[9] Al-Mawardi, Op. Cit., hlm. 15-16.
[10] Ibid., hlm.199
[11] Ibid., hlm.113
[12] Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.87.
[13]
Al-Mawardi, Op. Cit., hlm. 214.
[14] Sabahuddin Azmi, op. cit., hlm.88.
[15] Ibid.,
[16]
Al-Mawardi, Op. Cit., hlm. 215.
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut